[Jakarta, B’Inklusi] – “Sebanyak 84% penyandang disabilitas tidak memiliki rencana kedaruratan bencana,” ungkap Fretha Julian Kayadoe, ST., M.Si (Han), seorang Analis Kebencanaan Ahli Muda dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku yang tampil sebagai narasumber tunggal Pada webinar ke-7 yang diselenggarakan oleh Disability Care Center (DCC), Sabtu (11/1).
Dalam webinar kali ini, DCC mengusung tema “Disabilitas Tanggap Bencana” guna membekali para peserta dengan pengetahuan dan kesiapan menghadapi situasi darurat. Acara ini dihadiri oleh penyandang disabilitas dari seluruh Indonesia, menandakan kepedulian besar terhadap topik kebencanaan yang inklusif.
Dengan gaya bicara yang lugas namun penuh empati, Julian mengawali sesi dengan menggambarkan realitas pahit yang dihadapi penyandang disabilitas selama bencana. Statistik ini, diambil dari survei global tahun 2023, membuka mata semua peserta tentang betapa gentingnya persoalan ini.
Julian melanjutkan dengan menjelaskan berbagai hambatan yang sering dihadapi kelompok ini, mulai dari akses evakuasi yang sulit, keterbatasan fasilitas di lokasi pengungsian, hingga distribusi bantuan yang tidak merata.
Namun, webinar ini bukan hanya tentang memaparkan masalah. Wanita Yang pernah menjabat sebagai kepala seksi Kesiapsiagaan dan Pengawas Ahli Bangunan Rekonstruksi – bidang Rehabilitasi Rekonstruksi BPBD Provinsi Maluku ini pun hadir membawa solusi nyata. Ia merinci langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk melindungi penyandang disabilitas di berbagai fase bencana.
Pada fase pra bencana, Julian menekankan pentingnya mengelompokkan penyandang disabilitas berdasarkan kebutuhan mereka. Edukasi tentang risiko bencana dan sistem peringatan dini juga harus disampaikan dengan cara yang dapat diakses oleh semua orang. “Menyusun rencana kedaruratan yang inklusif adalah langkah pertama yang tak boleh diabaikan,” jelasnya.
Tas Siaga
Julian juga menekankan perlunya mempersiapkan tas siaga sebagai bagian dari kesiapsiagaan individu. Isi tas tersebut sebaiknya mencakup makanan kering, obat-obatan, lilin, korek api, senter, peluit, baterai, pakaian termasuk pakaian hangat dan kaos kaki, serta dokumen penting dan barang berharga lainnya. Julian mengingatkan bahwa isi tas harus diperiksa secara berkala, idealnya setiap tiga bulan, untuk memastikan tidak ada makanan atau obat-obatan yang telah kadaluwarsa.
Ketika bencana terjadi, kecepatan dan keamanan menjadi prioritas. Evakuasi harus dilakukan segera, dengan memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak tertinggal di lokasi berbahaya. Selain itu, dukungan psikologis perlu diberikan untuk membantu mereka menghadapi trauma yang mungkin muncul.
Fase pasca bencana menjadi waktu untuk pemulihan dan pemberdayaan. Julian menjelaskan bahwa rehabilitasi ekonomi dan infrastruktur harus dipadukan dengan asistensi untuk kegiatan sehari-hari serta program pemberdayaan ekonomi. “Kita tidak hanya ingin mereka selamat, tetapi juga kembali mandiri,” tambahnya.
Kemudian, wanita yang telah menyelesaikan program Pascasarjana di bidang manajemen bencana untuk keamanan nasional ini pun mengangkat pelajaran penting dari Jepang, sebuah negara yang dikenal dengan sistem penanggulangan bencana yang efektif. Ia mengulas pengalaman dari gempa Great Hanshin Awaji 1995, di mana 34,9% korban selamat berkat kesiapan mereka sendiri. “Kesiapan individu adalah kunci, dan dukungan keluarga serta komunitas memainkan peran yang sangat penting,” tegasnya.

Webinar ini ditutup dengan pesan kuat dari Julian yang menggugah emosi seluruh peserta. “Setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki hak untuk hidup dengan martabat dan kesetaraan, bahkan dalam situasi darurat sekalipun,” katanya, penuh penekanan.
Respon positif mengalir dari para peserta, yang berharap DCC dapat menyelenggarakan lebih banyak pelatihan seperti ini di masa depan. Disability Care Center sendiri menegaskan komitmennya untuk terus mempromosikan kesadaran, edukasi, dan aksi nyata dalam mewujudkan manajemen bencana yang inklusif bagi semua.
Penulis: Rachel Stefanie