[Jakarta, B’Inklusi] – Maraknya kegiatan di gereja ataupun paroki terkait disabilitas membuktikan Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) ramah disabilitas. Hal ini ditandai pula dengan pelayanan beribadah terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang mengizinkan mereka menerima sakramen, sebuah bentuk pengakuan penuh dan kesetaraan hak dalam kegiatan beribadah.
Tidak hanya mendapatkan sakramen baptis, ABK di seantero KAJ juga bisa menerima sakramen komuni pertama atau berhak menyambut hosti, juga sakramen krisma atau penguatan. Dalam Gereja Katolik, tiga sakramen tersebut merupakan sakramen inisiasi, landasan iman seorang umat untuk masuk secara penuh dalam ibadah dan tata cara Gereja. “Sebetulnya sudah lama Keuskupan Agung Jakarta ramah bagi disabilitas. Di Gereja Santa Perawan Maria Ratu Paroki Blok Q, ABK sudah banyak yang menerima sakramen,” ungkap Psikolog untuk ABK yang juga Aktivis Hak Disabilitas, Edi Pambudi saat dihubungi BincangInklusi, Kamis (4/7).
Dijelaskan, dukungan uskup selaku pemimpin tertinggi di wilayah Keuskupan Agung Jakarta berpengaruh positif akan penerimaan Gereja terhadap umat disabilitas. “Uskup Kardinal Suharyo sangat mendukung, bahkan tak jarang beliau langsung yang memberikan sakramen. Kardinal juga berpesan agar semua gereja atau paroki di lingkup KAJ akses bagi umat disabilitas,” ujarnya.
Dalam teritorial Gereja, wilayah pelayanan Keuskupan Agung Jakarta mencakup Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Selain Paroki Blok Q, banyak paroki lain yang juga sudah akses, bahkan memiliki komunitas disabilitas di antaranya Gereja Santo Servatius Paroki Kampung Sawah Bekasi, Gereja Santo Laurentius Paroki Alam Sutera Tangerang, Gereja Santo Barnabas Paroki Pamulang Tangerang, Gereja Santo Fransiskus Azisi Paroki Tebet, Gereja Santo Yohanes Penginjil Paroki Blok B, Gereja Keluarga Kudus Paroki Rawamangun, Gereja Hati Kudus Paroki Kramat, Gereja Santo Yakobus Paroki Kelapa Gading, Gereja Katedral Jakarta, dan paroki lainnya. “Pada Oktober tahun ini terdapat 25 ABK di Gereja Santo Servatius yang akan menerima sakramen krisma yang langsung diberikan oleh Uskup Kardinal Suharyo,” tandas Edi.
Mayoritas ABK penerima sakramen merupakan ABK mental intelektual, beberapa adalah ABK sensorik, dan fisik. Sebelum menerima sakramen, para ABK terlebih dahulu memperoleh pengajaran iman dari katekis atau guru agama. Pelajaran secara tatap muka berlangsung antara 14 hingga 16 kali dalam kurun waktu tujuh bulan. “Kendati mereka memiliki hambatan mental intelektual, tapi mereka adalah umat Allah yang punya hak menggereja yang sama dengan umat lainnya. Dengan caranya mereka paham, mereka dikenalkan pada Tuhan yang lebih tinggi dari manusia. Mereka terlihat bahagia saat belajar, orangtuanya pun bangga,” imbuhnya.
Edi menambahkan, interaksi antarABK, juga dengan volunteer bermanfaat bagi afeksi dan aktivitas sosial. “Kehadiran para volunteer menunjukkan wajah Gereja yang ramah. ABK terbantu perkembangan afeksi dan sosialnya, dan orangtua merasa dirangkul,” katanya.
Faktor orangtua ini, sambung Edi, juga mempunyai peranan penting dalam memahami pengajaran yang diterima anaknya. “Maka dalam berbagai kesempatan, orangtua kami arahkan untuk ikut katekisasi dan retret,” pungkasnya.
Penulis: Ignatius Herjanjam