[Jakarta, B’Inklusi] – Komisi Kateketik Keuskupan Agung Jakarta (Komkat KAJ) mengajak Gereja-Gereja untuk semakin terbuka dalam menerima penyandang disabilitas.
“Kami berharap Gereja-Gereja makin terbuka terhadap penyandang disabilitas, sehingga mereka seperti umat lainnya juga dapat melakukan kegiatan rohani di gereja,” ujar Koordinator Bidang Pastoral Disabilitas dan Kategorial KAJ, Andrianto Yulius saat dihubungi BincangInklusi, Selasa (6/8).
Disampaikan, pihaknya akan terus menjalankan Arah Dasar (Ardas) KAJ terkait penghormatan terhadap martabat kemanusiaan, termasuk di dalamnya mengakomodasi hak-hak menggereja penyandang disabilitas. “Tema Ardas tahun ini mengangkat keberpihakan Gereja kepada mereka yang miskin dan menderita. Miskin di sini bisa berarti rohaninya miskin, yang sebenarnya dapat dialami siapa pun. Secara khusus untuk disabilitas, bila Gereja belum akses, maka rentan bagi mereka mengalami miskin rohani,” terang Andrianto.
Sebagai bagian dari warga Gereja, disabilitas juga berhak merayakan Ekaristi, memperoleh sakramen, pengajaran iman, dan kegiatan rohani lainnya. “Mereka juga berhak memperoleh kisah kasih Allah misalnya dengan belajar Kitab Suci, merayakan keagungan Ekaristi, dan seterusnya. Karena itu keterbukaan Gereja dan keterlibatan umat amat dibutuhkan,” imbuhnya.
Kitab Suci Isyarat
Andrianto juga menyebut wacana penyusunan Kitab Suci bagi disabilitas pendengaran atau teman tuli. Wacana itu muncul saat acara retret juru bahasa isyarat (JBI) dan teman tuli di Wisma Samadi, Jakarta, 27-28 Juli lalu.
“Komkat ingin teman tuli mendapatkan kemudahan dalam mengerti Kitab Suci, lalu muncul Kitab Suci bahasa isyarat agar mereka mengerti isi Kitab Suci, bukan sekadar membaca,” ungkapnya.
Pada retret yang dihelat Komkat KAJ tersebut, sebanyak 110 peserta dari Jabodetabek membahas program rohani yang berkelanjutan bagi teman tuli. “Kami harap Gereja atau Paroki yang menjadi domisili teman tuli akses, supaya mereka tidak perlu jauh datang merayakan Ekaristi atau kegiatan rohani di gereja lain. Semoga makin banyak umat yang tergerak jadi JBI agar mereka dapat dilayani,” tukasnya.
Terpisah, Maria Sixma JBI dari Gereja Santa Perawan Maria Paroki Katedral Bogor menyambut baik hasil retret yang juga merupakan pembekalan bagi JBI.
Menurutnya, selain Gereja harus makin terbuka menerima disabilitas, pendataan umat disabilitas penting untuk pemetaan, karakteristik, yang nanti bisa dijadikan acuan untuk pendampingan serta pelayanan yang tepat.
Gereja yang ramah disabilitas akan lebih akomodatif jika ditunjang kesiapan mental dan sikap disabilitas. “Kesiapan mental seperti attitude yang baik, mampu menghormati dan menghargai orang lain dan aturan Gereja, bisa bekerja sama, menempatkan diri dengan baik, dalam banyak hal bersikap setara atau tidak banyak untuk dimaklumi, serta tindakan positif lainnya akan bermanfaat bagi disabilitas dan Gereja,” papar Sixma.
Penulis: Ignatius Herjanjam