Perempuan Disabilitas Lebih Rentan Alami Kekerasan Seksual

[Jakarta, B’Inklusi] – Lemahnya kondisi fisik ataupun sensorik yang melekat pada perempuan dengan disabilitas mengakibatkan mereka rentan mengalami kekerasan seksual.

“Selain karena keterbatasannya tersebut, stigma negatif dari masyarakat seperti perempuan disabilitas tidak mandiri, tidak bisa membela diri, tidak punya akses menuntut hak-haknya membuat perempuan disabilitas mengalami diskriminasi ganda,” ungkap Aktivis Disabilitas, Precilia Oktaviana dalam percakapan dengan BincangInklusi, Sabtu (22/2).

Dipaparkan, data dari World Health Organization (WHO), faktanya perempuan disabilitas lebih rentan tiga kali lipat mengalami kekerasan seksual ketimbang perempuan non-disabilitas. Kekerasan dalam bentuk pelecehan, penganiayaan, penyerangan, dan intimidasi dapat terjadi di ranah personal, ranah komunitas, dan ranah negara.

“Fasilitas yang tidak memadai termasuk fasilitas publik, pendidikan, dan sulitnya memperoleh bantuan hukum membuat mereka terkendala mendapat keadilan,” ujar Precilia.

Webinar Komunitas Feminis Yogya, Medio Februari. (Foto: Dokumentasi Panitia)

105 Kasus

Perempuan yang menjadi narasumber pada webinar yang dihelat komunitas Feminis Yogya, medio Februari lalu itu mengatakan pada 2023, Komnas Perempuan menerima laporan kasus kekerasan seksual berbasis gender. “Terdapat 105 kasus di Yogya meliputi disabilitas baik fisik, sensorik, mental, dan intelektual. Kasus tersebut terjadi ddari 2019 hingga 2023, berarti rata-rata 26 kasus tiap tahun. Ini tergolong tinggi bila dibandingkan populasi jumlah perempuan disabilitas dengan perempuan non-disabilitas,” jelasnya.

Dari beragam jenis disabilitas, lanjut Precilia, perempuan disabilitas netra yang paling rentan mengalami kekerasan seksual, serta sulit memperoleh keadilan hukum. “Dalam kehidupan sehari-hari saja misalnya, tidak sedikit penyandang disabilitas netra yang sulit untuk bernavigasi. Dalam kasus kekerasan seksual, mereka sulit menghindari dan mengenali bahaya, tidak mampu mengidentifikasi pelaku karena kendala penglihatan. Selain itu kurangnya atau sulitnya bukti dan saksi menyebabkan kasus tersebut tidak mendapat perhatian penegak hukum. Kondisi ini sungguh miris, karena mereka akhirnya memilih untuk tidak melapor,” tandasnya.

Guna mengantisipasi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas, peran masyarakat sangat dibutuhkan. “Peran masyarakat bisa dalam bentuk meningkatkan dukungan kegiatan, membuat program edukasi, advokasi dan pengawasan terhadap perempuan disabilitas, juga kerjasama dengan organisasi atau komunitas disabilitas,” tukas Pengurus Petki Jakarta ini.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberi ruang bagi disabilitas memperoleh penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yang sama dengan warga lainnya di berbagai bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sebagainya. “Tapi realitanya masih banyak kita temukan diskriminasi, termasuk diskriminasi hukum pada perempuan disabilitas,” pungkas Precilia.

Penulis: Ignatius Herjanjam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *