[Bekasi, B’Inklusi] – Tehnik tie dye yakni keterampilan mewarnai kain dengan menggunakan zat pewarna untuk menghasilkan pola tertentu yang menarik telah terbukti mampu membantu kemandirian ekonomi umat berkebutuhan khusus (UBK) di Gereja Santo Leo Agung Paroki Jatiwaringin, Bekasi.
“Kami telah dua kali mengadakan pelatihan tie dye bagi UBK. Mereka juga sudah mempraktikkannya, hasil karya mereka habis terjual,” ungkap relawan komunitas UBK Gereja Santo Leo Agung, Maria Charlotte Meirina saat dihubungi BincangInklusi, Jumat (20/9).
Dipaparkan, tie dye yang disebut juga dengan ikat celup atau jumputan menjadi pilihan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) UBK karena dinilai cara pembuatannya praktis serta tidak memerlukan modal besar. “Keterampilan ini bisa diterapkan semua ragam UBK, kebetulan di sekitar gereja disediakan lapak untuk UBK. Kami relawan hanya mendampingi UBK yang aktif menjual,” ucap Charlotte.
Ciptakan Peluang Kerja
Meski masih dalam lingkup gereja, tie dye diharap mampu menciptakan peluang kerja bagi UBK. “Sampai saat ini kita tahu sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Karenanya, keterampilan tie dye ini bisa menjadi alternatif pekerjaan yang menghasilkan. Semoga saja makin berkembang,” tandas Charlotte.
Koordinator Sub Seksi Bina Iman UBK Gereja Santo Leo Agung, Anastasia Retno Pujiastuti menyatakan wadah UBK yang terbentuk pada Oktober2020 itu berfokus pada dua program, yakni pemberdayaan, dan pembinaan iman.
“Pemberdayaan mencakup kegiatan UMKM, seminar atau pelatihan, dan kampanye inklusi. Sedangkan Misa inklusi, doa rosario, pengajaran sakramen, serta kegiatan liturgi lainnya menjadi bagian program pembinaan iman,” ujarnya.
Lebih lanjut perempuan yang biasa disapa Nana ini menambahkan, ke depan pihaknya akan bertandang ke lingkungan-lingkungan guna mendata UBK. “Saat ini jumlah UBK yang terdaftar ada 26 orang, mayoritas UBK mental dan intelektual. Penerimaan Gereja pada UBK sangat baik,” terang Nana.
Baik Nana dan Charlotte berharap kehidupan yang inklusif dapat dirasakan UBK, utamanya di lingkungan Paroki Jatiwaringin. “Di sini UBK tidak sekadar dilayani, tapi mereka juga melayani sesuai minat, bakat dan potensinya. Ketika UBK berkegiatan bersama umat biasa, dan mereka diterima sehingga tidak merasa disabilitas, itulah yang dinamakan inklusif,” jelas Charlotte.
Gereja Santo Leo Agung Paroki Jatiwaringin, Bekasi sendiri berada dalam wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional tahun ini yang jatuh setiap tanggal 3 Desember, Gereja tersebut akan menggelar acara inklusi se-Dekanat Bekasi. “Acaranya akan diadakan pada 8 Desember 2024. Kami berharap nanti teman-teman UBK bisa hadir, selain mengajak paroki-paroki yang belum bergerak memperhatikan UBK, ayo mulai berkarya bersama UBK,” ajak Nana.
Penulis: Ignatius Herjanjam