[B’Inklusi] – Malam itu Heru pulang dengan perasaan bahagia. Setelah berkutat hampir seharian di tempatnya bekerja, ia mampir sejenak membeli lauk makan. Sesampainya di rumah, ia lantas menyerahkan lauk tersebut kepada istrinya.
“Makanlah saja, kebetulan aku dan Charlotte sudah makan. Tadi tetangga mengirimi kita makanan,” sahut Sherlly.
Heru dan Sherlly adalah pasutri yang tinggal di kawasan Alam Sutera, Tangerang, Banten. Mereka menikah pada tahun 2011 di Kota Bandung, Jawa Barat.
Setelah menanti hampir lima tahun, akhirnya buah hati mereka pun lahir. Charlotte, nama sapaan putri semata wayang mereka.
Mendengar jawaban istrinya, Heru kemudian bergegas menyantap makanan itu. Rasa lapar yang menderanya sedari siang terbayar sudah. Sementara Sherlly dan Charlotte yang masih kenyang menemani tulang punggung keluarga itu bersantap di meja makan.
Sherlly berkisah, sebelum kejadian nahas yang menimpa Heru, ia mengenalinya sebagai suami pekerja keras dan bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga.
“Kalau sudah sibuk kerja, dia sering lupa waktu. Suami saya memang tipe pekerja keras, kami paham semua itu ia lakukan untuk membahagiakan kami,” ungkapnya.
Sederet profesi pernah dilakoni pria bernama lengkap Stephanus Heru Adhikusuma Halim itu. Mulai dari kepala gudang, manajer mal, hingga guru di sebuah sekolah internasional.
Heru juga sempat berpindah-pindah kota demi menjejak pekerjaannya. Jakarta, Pekalongan, dan Semarang adalah ladang pencaharian yang pernah disinggahinya, sebelum ia mantap menjadi guru di kawasan Tangerang.
“Entahlah, saya merasa nyaman jadi guru, mungkin karena lingkungannya mendukung, murid-murid dan rekan kerja membuat saya kerasan di sekolah,” papar alumnus Universitas Parahiangan Bandung itu.
Momen Tak Terlupakan
Namun sayang, niat mulia Heru untuk mengabdi sebagai guru harus terhenti. Seusai santap malam seperti pada kisah awal, ia lalu menuju kamar mandi. Udara malam itu membuatnya gerah. “Saya lalu membuka keran, dan membiarkan air dingin membasahi kepala,” kenangnya.
Sejenak ia merasa segar. Tapi hanya beberapa menit berlalu, badannya limbung. Heru berjalan sempoyongan. Baru saja ia coba menggamit lengan istrinya, tubuhnya keburu ambruk di lantai.
Panik, dan baru seumur-umur menghadapi situasi itu, Sherlly mencoba membopong tubuh suaminya. Tapi apa daya, tenaganya tak cukup kuat.
Sementara Charlotte yang kala itu baru berusia tiga tahun hanya terdiam, tak mengerti apa yang terjadi pada sang ayah.
“Waktu kejadian itu, saya bingung apa yang harus saya perbuat. Saya coba bopong tubuhnya, tapi enggak kuat. Saya nyuruh anak saya bantu, dia diam saja. Akhirnya saya sadar, Charlotte kan masih sangat kecil, mana mungkin dia bisa bantu. Saya lalu ambil bantal untuk menyangga kepala Heru yang terkulai di lantai,” tutur Sherlly.
Masih dalam keadaan panik, Sherlly berlari ke luar rumah sambil berteriak mencari pertolongan. Beruntung, banyak tetangga yang datang membantu menenangkannya, dan mengupayakan Heru yang tak sadarkan diri untuk dibawa ke rumah sakit.
Peristiwa malam di Bulan Maret 2018 itu menjadi momen yang tak terlupakan dalam perjalanan bahtera rumah tangga mereka.
Bilangan hari berganti bulan. Tahun-tahun pun terlewati. Meski kondisi Heru membaik, tidak perlu dipapah, dan bisa berjalan, namun efek sakit yang dideritanya berimbas pada kesehatan matanya.
Penglihatannya semakin memburam. Dokter menyatakan pembuluh darah yang pecah di area kepala bukan saja mengakibatkannya mengalami stroke, tapi juga kebutaan karena tekanan di saraf bagian belakang kepala.
“Saya sempat gundah menerima kenyataan ini. Aktivitas jadi terhambat. Enggak bisa lagi menikmati nonton di bioskop, enggak bisa lihat wajah anak dan istri lagi,” lirihnya.
Pria kelahiran 1980 ini mengaku butuh waktu tiga tahun berdamai dengan kenyataan yang kini harus dihadapinya.
“Saya pernah kesal pada kondisi ini, pada hidup ini, sampai-sampai enggak mau percaya Tuhan. Sewaktu sehat pun, kehidupan beragama saya biasa saja,” tukasnya.
Sang istri saat itu dengan sabar meyakinkan suaminya untuk tetap berdoa, dan percaya rencana Tuhan. Sebagai seorang istri, perempuan bernama lengkap Sherlly Srirezeki Limanta paham kondisi psikologis suaminya.
Diakui kadang emosinya tidak selalu stabil, saat-saat mendampingi suami ada momen dirinya merasa gundah, namun setelah terlewati, dipikir-pikir momen itu sekarang jadi terasa lucu.
“Coba masa dia ngotot ingin ke lantai dua, padahal rumah kami satu lantai, enggak ada lantai dua. Pernah juga dia minta naik helikopter,” kenang Sherlly sembari tersenyum.
Lika-liku mencari rumah sakit demi suami tercinta, harus Sherlly lalui. Ia lalu menghubungi saudara perempuan Heru yang tinggal satu kota. “Bantuan datang dari kakaknya Heru, yang mengirim supir dan mobilnya,” katanya
Heru pun dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi sesampainya di sana, pikiran Sherlly kembali kalut. Pihak rumah sakit menolaknya. Alasannya, rawat inap untuk pasien pengguna BPJS sudah terisi penuh.
“Kalau untuk swasta masih ada kamar,” begitu Sherlly menirukan ucapan petugas rumah sakit kala itu.
Siapa yang tidak kalut menghadapi situasi seperti itu? Suami yang tidak sadarkan diri, pengobatan yang tidak didapat, dan si kecil Charlotte yang juga butuh perhatiannya.
Beringsut bersama sang supir, ia memapah Heru ke dalam mobil, mencari rumah sakit lain. Ternyata jawabannya sama, kamar inap yang masih tersedia hanya untuk pasien nonBPJS.
Khawatir kondisi suaminya semakin parah, Sherlly tidak punya pilihan lain. Malam itu Heru menjalani perawatan di UGD.
“Selang beberapa waktu kemudian, dokter mengajak saya masuk ruangan untuk membicarakan kondisi suami. Dokter bilang, pembuluh darah di kepala suami pecah, karenanya harus segera diambil tindakan operasi,” kenangnya.
Selanjutnya, hari-hari yang dilalui perempuan yang sempat menjadi pengajar di Sekolah Santa Laurentia Alam Sutera Tangerang itu tidaklah mudah. Jatuh bangun ia harus mendampingi sang suami bolak-balik rawat inap di rumah sakit, dan mengurusnya saat di rumah. “Beruntung, ibu mertua datang membantu,” ungkap Sherlly.
Mengandung Hikmah
Masa-masa pedih yang dilalui mereka akhirnya mengandung hikmah yang sungguh bernilai. Lambat laun Heru yang vakum dari pekerjaan, tertegun dengan iman istrinya.
Sherlly tetap rajin berdoa. Dia juga aktif mengikuti kegiatan Doa Bersama di lingkungan tempatnya tinggal, di kawasan Kota Bogor, Jawa Barat. Bahkan Sherlly menjadi pengurus komunitas disabilitas di Gereja Katedral Bogor.
Sejak 2021 lalu pasutri yang tampak harmonis ini memutuskan hijrah ke kota hujan.
“Semenjak di Tangerang pun saya aktif dalam kelompok doa. Dekat Tuhan itu hati jadi tenang. Sebagai penganut Katolik, saya gemar mendaraskan Doa Rosario, mohon penyertaan Tuhan, dan doa dari Bunda Maria. Saya percaya kesembuhan suami karena mukzijat Tuhan, dia bisa berjalan lagi. Dokter pernah menyampaikan hal itu kepada saya,” papar perempuan yang kini membuka usaha kuliner itu.
Akan halnya Heru, yang kini kembali menata harapan, mengisi hari-hari dengan menemani belajar putri kesayangannya. Pengalamannya sebagai guru memampukannya mengarahkan pendidikan putrinya.
Waktu pun kini dijalani dengan tekun berdoa, dan sikap berserah. “Ketika kita bersandar pada Tuhan, selalu ada solusi terbaik. Saya mengalaminya,” ujarnya.
Belajar dari pengalaman hidup, kepada BincangInklusi di Bogor, Sabtu (13/7) pasutri Heru dan Sherlly mengimbau agar siapa pun, dalam kondisi apapun, termasuk saat kondisi disabilitas, janganlah melupakan Tuhan.
“Libatkanlah selalu Tuhan, tekunlah berdoa, apapun agama dan keyakinan kita,” pungkas mereka.
Penulis: Ignatius Herjanjam
Luar biasa, tidak mudah memang menuju keberserahan kepada Tuhan ketika keadaan tidak baik-baik saja. Sabar itu indah dan nikmat jika sudah ditemukan tp menuju kesana perlu perjuangan yg luar biasa.
Sehat selalu buat mas Heru dan keluarga. Kiranya damai sejahtera selalu menyertai kita Semua.
Aamiin
terima kasih Sobat Inklusi. Semoga karyanya semakin berkembang.
We missed you, Heru
-HENTOS-