[B’Inklusi] Dalam keheningan dinihari ini, ingatanku kembali berputar mengenang rangkaian kisah perjalanan hidupku lebih dari tujuh belas tahun yang lalu.
Pagi itu seperti biasa aku menantikan keberangkatan Grace ke sekolah bersama Mbak Mia yang bekerja di rumahku. Kebiasaan ini aku lakukan dengan harapan agar Grace memahami, betapa sayangku kepadanya, walau aku tidak seperti para ayah teman-temannya yang selalu mengantarkan mereka ke sekolah setiap pagi.
Kanak-kanak Grace
Akhirnya Grace yang telah rapi dengan seragam Taman Kanak-kanaknya berlari menghampiriku, diiringi oleh istriku dan Mbak Mia.
“Papa, sebelum berangkat Grace mau nyanyi dulu ya,” kata putri kecilku sambil menyentuh tanganku penuh kemanjaan.
“Kali ini nyanyi lagu apa Grace? Setelah nyanyi langsung berangkat ya, biar nggak terlambat,” kataku sambil menggenggam sayang tangan mungilnya.
“Mama juga dengerin ya,” ujar Grace yang membuat istriku tertawa kecil. Namun ketika Grace mulai menyanyi, kami pun terlarut ikut bernyanyi bersamanya:
“Oh Mama dan Papa selamat pagi, ku pergi sekolah sampai siang nanti.”
“Selamat belajar Grace penuh semangat, rajinlah selalu tentu kau dapat.”
“Hormati gurumu sayangi teman.”
“Itulah tandanya kau murid budiman!”
Selepas kalimat terakhir yang aku nyanyikan berbarengan dengan istriku, Grace pun berlari pergi sambil melambaikan tangannya, lupa kalau kedua orangtuanya tak dapat menyaksikan kelincahannya itu, untunglah ada Mbak Mia yang menjelaskannya, yang tentu saja membuat kami tersenyum geli.
Hari itu adalah pelajaran kesukaan Grace, di mana Ibu Guru memberikan pelajaran budi pekerti kepada murid-murid kecilnya, dan kali ini para murid harus menulis surat yang ditujukan kepada orangtua masing-masing, terserah mau memberikan pujian, meminta sesuatu, atau hanya sekadar melaporkan pengalaman mereka selama berada di sekolah.
“Nanti Ibu akan mengirimkan surat-surat yang kalian tulis itu kepada orangtua kalian di rumah,” kata Ibu Guru sebagai tanda tugas menulis itu dimulai.
Grace memandang berkeliling; ada temannya yang langsung menulis tapi ada juga yang malah kebingungan tidak tahu harus menulis apa. Grace sendiri tidak perlu berpikir lama, ia segera sibuk menulis, dengan tergesa-gesa ia mengguratkan kata demi kata, seolah cemas suratnya belum selesai ketika waktunya habis!
Akhirnya suara Ibu Guru menyudahi kesibukan menulis itu, dan satu persatu para murid maju ke meja gurunya untuk menyerahkan hasil karyanya, termasuk Grace yang tersenyum penuh kemenangan, ia merasa dirinya seperti seorang pahlawan yang baru pulang dari medan pertempuran!
Siang itu Grace tak henti-hentinya bercerita kepada Mbak Mia di sepanjang jalan pulang ke rumah, termasuk tentang suratnya itu, dan Grace meminta agar pengasuhnya itu merahasiakannya agar menjadi sebuah surprise untuk Papa dan Mamanya di rumah.
Tiba-tiba terdengar suara tetabuhan yang kian mendekat, kemudian dari balik tikungan jalan muncullah sosok barongsai berikut para pengiringnya. Serta merta Grace menjerit ketakutan lalu berlari ke lain jurusan. Sontak Mbak Mia pun berlari mengejar sambil berteriak menyuruh berhenti, namun Grace berlari seperti kelinci dikejar pemburu.
Sesaat kemudian Grace berbelok memasuki sebuah rumah makan di tepi jalan; ia tahu hampir setiap siang neneknya berada di rumah makan itu dan mengobrol di sana dengan para nenek lainnya.
“Hiii takut, Nenek tolong, Neneeeeekkk!” teriak Grace ketika melihat Mamaku memang berada di situ lalu segera menubruknya.
“Ada apa Grace, kok lari-lari begini?” tanya Mamaku heran sambil melontarkan tatapan bertanya pula kepada Mbak Mia yang berdiri beberapa langkah di belakang Grace.
“Ada, ada barongsai, Nek, hiii takut!” jawab Grace yang disusul meledaknya tawa para ibu tua di tempat itu.
“Ya udah, pulang barengan Nenek aja; nanti kalau ketemu barongsai lagi biar Nenek yang usir,” kata Mamaku yang kemudian berpamitan kepada teman-temannya.
Dalam perjalanan pulang itulah Grace mengungkapkan terkadang ia merasa iri kepada teman-teman sekelasnya yang selalu diantar jemput ke sekolah oleh Papa atau Mamanya, sedang hanya Mbak Mia yang melakukan hal itu untuk Grace.
Di lubuk hatinya Mama merasa iba mendengar curahan hati cucunya itu, namun Mama menyadari Grace masih terlampau kecil untuk memahami, betapa banyaknya anak-anak yang tidak mendapatkan curahan kasih sayang dari orangtuanya, betapa Grace jauh lebih beruntung, sebab Papa dan Mamanya masih mampu membuktikan cinta mereka walaupun dalam segala keterbatasannya.
Mama lalu berjanji kepada Grace akan menjemputnya di sekolah, sedang untuk berangkat tetap Mbak Mia yang mengantar, karena setiap pagi Mama harus melaksanakan kegiatannya sebagai pelatih Thaici.
Semua pembicaraan Mama dengan Grace itu ia ceritakan kepadaku. Sejak saat itu aku pun terkadang menjemput Grace, yaitu ketika aku pulang dari rumah pasien dengan mengendarai ojek. Tentu saja Grace merasa kegirangan karenanya. Ia biasa duduk di depan pengemudi, sedang aku duduk di belakang.
Di suatu siang saat aku sedang menunggu kepulangan Grace yang sedang dijemput oleh Mama, tiba-tiba bel pintu berbunyi, dan ternyata yang datang adalah Pak Pos. Aku bergegas membukakan pintu lalu menerima sepucuk surat darinya. Sebelum aku sempat bertanya untuk siapakah surat tersebut, Mbak Mia yang rupanya juga cepat-cepat keluar berkata di belakangku:
“Itu surat dari Grace buat Papa dan Mamanya.”
Heran juga aku, kok bisa ya Grace mengirimi surat, padahal kan kami tinggal serumah? Akan tetapi Mbak Mia yang sudah tahu persoalannya segera menjelaskan, bahwa surat tersebut Grace tulis sebagai tugas dari guru pembimbingnya.
Aku serta merta menyerahkan surat itu kepada Mbak Mia untuk dibacakan, setelah aku memanggil istriku untuk turut mendengarkan. Demikianlah isi surat pendek dari Grace:
“Papa, Grace mengucapkan terima kasih karena Papa telah bekerja keras untuk membiayai sekolah Grace, terima kasih Mama yang telah merawat Grace. Grace janji akan rajin belajar, supaya nanti bisa sekolah di luar negeri, dan setelah Grace bekerja, Grace akan mengajak Papa dan Mama jalan-jalan keliling dunia.
Semoga Tuhan mengabulkan doaku. Amin!”
Surat yang amat bersahaja, namun kalimat-kalimat gadis kecilku itu mampu mengoyak kalbuku, sehingga air mata menggenang di kedua kelopak mataku. Bahkan aku bisa mendengar getaran dalam suara Mbak Mia, padahal dia hanya bekerja untuk keluarga kami, namun gelombang keharuan yang sama juga melanda sanubarinya yang terdalam.
Bunyi pintu pagar dibuka menyadarkan kami bertiga; Grace berlari masuk diikuti oleh Neneknya. Grace berteriak girang melihat suratnya telah sampai, namun ia tak sempat lagi melanjutkan sorakannya karena istriku telah menariknya ke dalam dekapannya. Mamaku yang menjadi pembaca terakhir surat tersebut, tak urung mengambil tisu dari saku bajunya lalu mengusap matanya yang telah basah.
Ada sebuah kisah lain yang kami alami setelah Grace beranjak remaja. Terhitung sejak ia berumur delapan tahun, Grace sudah terbiasa menuntun kami saat pergi dan pulang dari gereja. Sesekali ketika sedang menyeberangi jalan, Grace berkomentar:
“kalau Grace punya adik kan enak, bisa tuntun Papa dan Mama seorang satu.”
Setiap kali kalimat itu terlontar dari bibirnya, aku pun selalu memberikan jawaban yang sama:
“Grace gak punya adik, tapi Papa dan Mama pasti kasih pendidikan yang terbaik buat masa depanmu.”
Aku berpikir, mungkinkah Grace merasa terbebani oleh keberadaan kami? Untuk anak-anak seusianya, tentunya mereka akan berlarian di depan orangtua mereka atau berjalan santai mengiringi sambil mengobrol. Kebebasan itu jelas tidak ada pada Grace. Jadi mungkinkah ada rasa kecewa itu di hatinya?Aku ingin sekali mengetahui jawabannya, akan tetapi aku rasa lebih tepat bila orang lain yang bertanya kepada Grace, dan ternyata aku tak perlu menunggu lama.
Di suatu hari Minggu siang selepas ibadah, aku, Istri dan Grace sedang bersantai di Ruang Sekretariat Gereja Yesus Sejati; tak lama kemudian Pak Pendeta Tertius juga masuk dan duduk bersama kami. Kebetulan sekali ketika itu hanya ada kami berempat saja dalam ruang sekretariat tersebut. Setelah mengobrol ke sana ke mari Pak Pendeta lalu bertanya kepada Grace:
“Grace ada perasaan kecewa atau minder nggak karena keadaan Papa dan Mama?”
Nah, itulah hal yang ingin sekali aku tanyakan. Hampir aku lupa untuk bernapas menantikan jawaban Grace.
“sama sekali nggak minder kok Pak Pendeta, justru Grace merasa bangga,” jawab Grace mantap.
“Ya, betul, Grace nggak perlu merasa minder, rendah diri apalagi kecewa; biarpun Papa dan Mama sama-sama tunanetra, ditambah lagi Papa juga kurang mendengar, tapi semangat mereka untuk bekerja nggak kalah dari mereka yang fisiknya lebih baik. Juga semangat mereka untuk melayani Tuhan patut diteladani. Grace harus bersyukur mempunyai orangtua seperti mereka.”
“Ya, Pak Pendeta, Grace juga akan melayani Tuhan dan sesama seperti Papa dan Mama,” ujar Grace menimpali nasihat Pak Pendeta Tertius yang panjang lebar itu.
Alangkah leganya setelah Grace menjawab; dia sungguh sesuai dengan namanya: “Grace” yang berarti “anugerah”.
Aku pun sangat berterima kasih kepada Pak Pendeta, ia bukan hanya mewakiliku bertanya, tetapi juga karena kata-katanya membuatku lebih bersemangat lagi untuk berkarya, sekalipun dalam gelap dan sunyi!
Grace dan Apliksi Peta Netra
Sepuluh tahun berlalu sudah. Kini Grace berada di ambang akhir pendidikannya di Binus University. Ia menekuni jurusan IT demi merealisasikan janjinya untuk berbuat sesuatu bagi penyandang disabilitas, khususnya tunanetra dan tunarungu seperti aku papanya. Tampak jelas ia berjuang keras untuk dapat menyelesaikan skripsinya dan akan segera disidang.
Sebenarnya Grace berniat untuk melanjutkan kuliah di Taiwan selepas lulus dari Binus University, namun sepertinya Tuhan belum mengizinkannya. Maka Grace bertekad untuk terus mengembangkan Aplikasi Peta Netra yang telah beberapa waktu ini diciptakannya bersama rekan-rekannya. Aku yakin Grace menciptakan Aplikasi Peta Netra karena terinspirasi oleh papanya yang tunanetra dan tunarungu yang biasa berpergian sendiri. Ia berharap Peta Netra tidak hanya berguna untuk membantuku saja, tetapi juga bermanfaat bagi semua teman-teman disabilitas netra lainnya.
Pada 10 Desember 2022 merupakan hari bersejarah buat Grace juga buat kami yang sangat mencintainya. Grace akan diwisuda oleh Bina Nusantara University! Ia berhasil lulus dengan nilai A untuk skripsinya. Puji Tuhan!
Grace masih harus menempuh perjalanan yang panjang menuju cita-citanya, namun kami yakin suatu ketika nanti kami akan menuai buah sukacita dari benih pengharapan yang kami taburkan dalam diri Grace. Semuanya pasti indah pada waktunya. Tuhan memang sungguh amat baik kepada kita yang sungguh mengasihiNya.
Penulis: Chandra Gunawan .
Editor: Kris Hidayat
Foto Ilustrasi: Priscilla Du Preez/Unsplash