Dalam Keterbatasan Kutemukan Secercah Iman

[B’Inklusi] – “Tinggal dulu ya.”

“Iya, terima kasih. Nanti jemput sekitar jam tujuhan ya.”

Demikian percakapan sepasang suami istri yang selalu terdengar di ruang Gereja Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran Jogjakarta.

seperti biasa, Rini yang adalah seorang wanita tunanetra selalu diantar oleh suaminya yang beragama Islam untuk mengikuti perayaan Misa di setiap hari Sabtu atau Minggu sore. Sang suami akan menuntun Rini melalui pintu samping gereja sampai sang istri duduk dengan aman di bangku yang berada dekat dengan pintu samping. Setelah itu, barulah ia pergi meninggalkan Rini sendirian untuk mengikuti perayaan Misa yang akan dimulai satu jam lagi.

Meski Rini adalah seorang tunanetra dan berbeda agama dengannya, tetapi sang suami mengerti bahwa kerinduan isterinya sebagai umat Katolik untuk beribadah tidak pernah surut. Setiap seminggu sekali, dengan setia sang suami selalu mengantar Rini ke gereja, sebuah bukti nyata dari cinta mereka yang melampaui perbedaan keyakinan.

Rini memang selalu Memilih duduk di bangku yang sejajar dengan pintu masuk samping gereja. Tempat itu sudah menjadi pilihan favoritnya karena memudahkan dia menerima komuni tanpa perlu mengantre atau bingung mencari jalan di antara barisan umat lain. Namun, setiap kali ia tiba dan duduk di sana seorang diri, ia tak bisa menolak perasaan kesepian yang perlahan-lahan merayapi hatinya.

Ruang gereja yang masih kosong membuatnya merasa terasing, terlebih saat ia tidak bisa melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Untuk menghalau rasa kesepian itu, biasanya Rini segera mengambil Rosario dari dalam tas dan mulai mendaraskannya.

Menit demi menit berlalu, dan umat mulai berdatangan. Pemilik nama lengkap Catur Tulus Setyorini ini merasakan hiruk-pikuk yang familiar saat suara langkah-langkah dan bisikan-bisikan kecil memenuhi ruangan. Namun, tantangan sesungguhnya datang ketika Misa dimulai.

Saat tiba waktunya komuni, Rini berdiri di bangkunya dan memposisikan kedua tangannya siap menerima tubuh Kristus. Waktu berlalu tanpa ada tanda-tanda bahwa sang prodiakon akan menghampirinya. Ia tetap berdiri, mendengarkan dengan cermat suara langkah yang seharusnya mendekat, tapi tak kunjung terdengar.

Setelah menunggu cukup lama, Rini sejenak menurunkan kedua tangannya dengan ragu. Tiba-tiba, ia mendengar suara umat di sebelahnya berkata, “Amin,” menandakan bahwa mereka telah menerima komuni. Hati Rini bergetar. Bagaimana mungkin ia tidak mendengar atau menyadari sang prodiakon telah melewatinya? Merasa gelisah, Rini berusaha berjalan pelan-pelan, mengandalkan pendengarannya untuk mencari sang prodiakon yang masih membagikan komuni.

Ketika akhirnya ia sampai di hadapan sang prodiakon, dengan suara pelan Rini berkata, “Maaf, saya belum menerima komuni.” prodiakon itu terkejut dan bertanya, “Apakah ibu sudah dibaptis secara Katolik?”

Rini terdiam sejenak, merasakan pedih di hatinya. Memang, tanpa tongkat putihnya, tidak ada yang bisa tahu bahwa ia seorang tunanetra. Namun, pertanyaan itu seolah menggugat keberadaannya sebagai seorang Katolik yang taat.

Setelah menjawab pertanyaan prodiakon, ia akhirnya menerima komuni, namun perasaan campur aduk memenuhi hatinya.

Sering Terlewatkan

Kesulitan serupa juga sering ia hadapi saat kantong kolekte diedarkan. Rini sering kali terlewatkan oleh umat yang duduk di sebelahnya, mungkin karena mereka tidak sadar bahwa ia seorang tunanetra. Perasaan tak berdaya sering kali menghantuinya, hingga suatu hari ia memutuskan untuk mengatasi masalah itu dengan caranya sendiri.

Setiap kali sampai di gereja dan duduk di bangkunya, Rini akan bergegas meraba-raba ke arah samping untuk mencari kantong kolekte, selagi bangku-bangku di sebelahnya masih belum terisi oleh umat lain. Setelah berhasil menemukannya, ia segera memasukkan uang persembahannya sehingga ketika kantong kolekte diedarkan, ia tidak perlu menunggu dan bergantung pada orang lain.

Suatu kali di hari Sabtu sore, saat Rini tiba di gereja dan duduk di bangku seperti biasa, ada seorang bapak yang duduk di sebelahnya menyapa dan  membuka percakapan. Dari Sanalah, akhirnya Rini mengetahui bahwa ternyata bapak tersebut adalah seorang tunadaksa yang menggunakan alat bantu berjalan. Rini merasa senang sekali, karena keberadaan bapak tersebut sangat membantu dirinya, terutama ketika kolekte dan komuni.

Alumnus Fakultas Ilmu Hukum di sebuah Perguruan Tinggi di Jogjakarta ini juga bercerita, “Pernah waktu aku ikut Misa di hari Minggu sore, saat prodiakon membagikan komuni. Lagi-lagi aku dilewati. Tetapi seorang ibu yang duduk di sebelahku menyadari bahwa aku seorang tunanetra. Dia meraih tanganku dan mengarahkannya ke hadapan prodiakon. Setelah Misa selesai, kami mengobrol, ternyata ibu itu dari paroki lain yang kebetulan mampir untuk mengikuti Misa di gerejaku.”

Tetapi kebahagiaan saat berjumpa dengan umat lain yang peduli dan siap membantunya tidak selalu Rini rasakan. Meski begitu, di  dasar hati terdalam, Rini senantiasa dapat menyadari kehadiran Tuhan yang selalu setia mendampinginya.

Sementara itu, untuk mengikuti panduan Misa, Rini biasanya membaca PDF panduan yang dikirimkan oleh ketua lingkungan lewat program pembaca layar di handphonenya. Meskipun cara tersebut cukup membantu, sering kali ia tetap merasa kesulitan mengikuti ritme Misa.

Catur Tulus Setyorini

Mendambakan Gereja Inklusif

Ada saat-saat di mana Rini merasa sedih dan membatin, “Kok, begini amat ya jadi tunanetra, padahal saya hanya ingin mengikuti Misa dan menyambut tubuh Kristus.”Namun, di balik semua kesulitan itu, Rini tetap teguh. Kerinduannya untuk menyambut tubuh Kristus ternyata sanggup menutupi segala rasa kesedihan dan kesendiriannya sebagai umat berkebutuhan khusus.

Setiap minggu, ia berdoa agar Tuhan memberinya kekuatan untuk tetap setia. Ia tahu bahwa perjalanan imannya tidak mudah, tetapi ia tidak pernah berhenti berharap. Ia mendambakan gereja yang lebih inklusif, tempat di mana umat berkebutuhan khusus bisa beribadah dengan nyaman dan aman.

Suatu kali, ia mendengar cerita dari seorang teman tunanetra di Tangerang bahwa paroki mereka telah menyediakan bangku tersendiri bagi umat berkebutuhan khusus, agar memudahkan para petugas tata laksana Dan umat lainnya untuk menyadari kehadiran para umat berkebutuhan khusus dan membantu mereka. Rini merasa terharu mendengar cerita itu.

Diakuinya, sikap akses dan perlakuan yang ramah selama ini telah ia dapatkan dari pengurus lingkungan. Tak jarang Rini dilibatkan dalam kegiatan rohani di lingkungannya, semisal Doa Rosario, Ziarek, Sembahyangan dan kegiatan rohani lainnya.

Dia berharap hal itu dapat menular ke Gereja melalui kepedulian serta kebijakan para imam. Dia percaya, Gereja yang berlandaskan kasih mau mengakomodasi umat berkebutuhan khusus seperti dirinya. Bagi disabilitas, kepedulian Gereja ibarat secercah iman yang mampu menyinari keterbatasannya.

“Saya bukannya ingin diistimewakan,” ungkapnya kepada BincangInklusi saat dihubungi via telepon, Jumat (23/8). “Tetapi alangkah baiknya jika Gereja lebih peduli dan merangkul umat berkebutuhan khusus, sehingga kami bisa merasakan kasih Tuhan dengan lebih nyata, karena kami pun adalah warga Gereja, anggota tubuh Kristus yang satu, kudus dan apostolik.”

Penulis: Rachel Stefanie

2 thoughts on “Dalam Keterbatasan Kutemukan Secercah Iman

  1. Tulisan kisah ini menjadi bagian dari keinginan saya digereja saya, dimana saya sebagai penatua digereja protestan tempat dimana saya melayani.
    Gereja yang inklusi,gereja yang ramah dan gereja yang aksesible.
    Gereja yang membawa damai sejahtera terkadang tidak mensejahterakan umatnya.
    Mereka yang menggunakan kursi roda mau duduk didekat altar tidak bisa mandiri karena tidak ada akses untuk berjalan, bisa tetapi harus digotong.
    Semoga gereja yang ramah dapat terwujud.
    Tuhan menyertai.Amin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *