[Jakarta, B’Inklusi] – “Kalau kamu menikah dengan dia, jangan harap kami datang ke pernikahanmu,” ujar ayah Wati dengan suara tegas. Wati hanya bisa diam. Ia tahu bahwa keputusannya untuk menikah dengan sang kekasih bukanlah hal yang mudah, terutama karena mereka berbeda keyakinan. Namun, hatinya yakin bahwa cinta mereka bukanlah kebetulan.
Suami Wati adalah seorang petugas keamanan di mal tempat Wati bekerja menjaga konter sepatu. Perkenalan sederhana itu berubah menjadi cinta yang mendalam. Meskipun awalnya pria itu jarang sekali menjalankan kewajibannya sebagai seorang penganut Katolik, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Wati merasa bahwa ia adalah takdirnya.
Butuh waktu dan doa untuk meyakinkan kedua orangtuanya. Hingga akhirnya, sentuhan Sang Ilahi mampu melembutkan hati mereka. Ketika pemberkatan pernikahan di gereja, orangtua Wati hadir dan bahkan masuk ke dalam gereja untuk pertama kalinya.

Melangkah dalam Terang Iman
Awalnya, wanita yang setelah menjadi seorang Katolik memiliki nama lengkap Maria Magdalena Destiawati ini merasa kehilangan arah dalam mengarungi perjalanan Imannya. Lingkungan dan pengalaman hidup sering membawanya pada pilihan-pilihan yang salah. Namun, pernikahan ini memberinya jalan baru, meskipun suaminya sendiri bukan sosok yang aktif dalam iman Katolik.
Pernah Wati berkata kepada suaminya, “Bukannya kamu yang harus membimbing aku dan anak-anak? Kok malah aku yang berjalan sendirian?” Demikian ia membuka kisahnya kepada BincangInklusi, Jumat, (31/1).
Namun, meski di tengah kebingungannya sebagai umat awam baru, Wati tetap memutuskan untuk mengambil peran itu sendiri. Ia mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan mulai membimbing anak-anak mereka. Wati membawa mereka hingga menerima Komuni Pertama. Walaupun ada rasa kecewa terhadap suaminya yang tidak sepenuhnya mendukung, Wati menyerahkan semuanya dalam doa. Ia percaya, Roh Kudus akan bekerja dalam hati suaminya suatu hari nanti.
Pertolongan Tuhan yang Ajaib
Banyak momen dalam hidup Wati di mana ia merasakan tangan Tuhan hadir secara nyata.
Suatu ketika, Wati pulang kampung bersama kedua anaknya. Di tengah perjalanan, bus yang mereka naiki mengalami kecelakaan, menabrak sebuah rumah. Dalam kepanikan, Wati memeluk kedua anaknya. Namun, tiba-tiba salah satu anaknya sudah tidak ada di pangkuannya. Wati panik. Tapi ternyata, anaknya sudah berada di luar bus dalam pelukan seorang pria yang tidak dikenal.
Pria itu tidak hanya menyelamatkan anaknya, tetapi juga membawa tas-tas mereka yang cukup banyak dan mengantarkan mereka sampai ke rumah di Bekasi. Ketika Wati dan suaminya ingin mengucapkan terima kasih, pria tersebut sudah tidak ada—lenyap begitu saja. Wati bertanya-tanya, apakah itu malaikat yang Tuhan kirimkan untuk menyelamatkan mereka?
Pertolongan serupa juga terjadi ketika Wati seharusnya turun di tol yang sudah dilewati jauh. Dalam kebingungan, seorang pria muncul, membantu membawa barang-barang dan anak-anaknya, serta mengantar mereka sampai ke rumah.
Badai Terbesar: Operasi Tumor Otak
Tahun 2020 menjadi ujian terberat bagi Wati. Tanpa gejala apapun, ia tiba-tiba terjatuh di rumah saat sedang mencuci piring. Ketika diperiksa, dokter menemukan tumor di kepalanya. Operasi besar pun harus dilakukan, memakan waktu 16 jam.
Wati dirawat selama dua bulan, menyaksikan orang-orang di ruang perawatan meninggal satu per satu. Hanya Wati satu-satunya yang masih bertahan. “Aku yakin, penyertaan Tuhan dan Sakramen Ekaristilah yang membuatku hidup sampai saat ini,” ungkap wanita kelahiran 8 Desember 1984 itu dengan mantap.
Meski harus duduk di kursi roda, Wati tetap bersyukur. Ia masih ada untuk anak-anaknya, Sekar dan Alexander.
Kesetiaan yang Tidak Pernah Padam
Dalam mimpi, Wati pernah melihat Yesus berdiri di depan pintu gereja, tersenyum, dan membuka tanganNya⁴⁴ lebar-lebar. Yesus tidak berkata apa-apa, tapi Wati tahu itu adalah panggilan untuk tetap teguh.
Sejak saat itu, Wati tidak pernah ragu lagi akan kasihNya, bahkan ketika ia harus berjuang sendirian. Meskipun suaminya belum sepenuhnya mendukung perjalanan imannya, Wati tetap berdoa agar Tuhan bekerja dalam hati suaminya. Ia percaya bahwa tugas seorang istri adalah membawa keluarganya kepada Tuhan, bahkan jika itu berarti memikul salib seorang diri.
Kehendak Tuhan yang Kudus
Hidup Wati penuh badai, tetapi ia tidak pernah merasa ditinggalkan. Wati belajar dari kisah Ayub bahwa penderitaan bukanlah hukuman, melainkan bentuk kasih Tuhan yang menguatkan.
Saat ini, Wati mendapatkan kekuatan dari Gereja, romo, dan komunitas yang terus mendukungnya, baik secara rohani maupun materi.
Wati percaya bahwa kisah hidupnya adalah kesaksian tentang kasih Tuhan yang tak berkesudahan. Dengan penuh iman, Wati menambahkan, “Aku percaya Tuhan sanggup untuk menyembuhkanku. Tapi bukan kehendakku, melainkan kehendak Tuhan saja yang jadi.”
Seperti ayat favoritnya, Yeremia 17:14: Sembuhkanlah aku, ya TUHAN, maka aku akan sembuh; selamatkanlah aku, maka aku akan selamat, sebab Engkaulah kepujianku!
Saat ini, Wati hanya berharap agar hidup yang masih dipercayakan Tuhan kepadanya dapat menjadi kesaksian bagi banyak orang. Biarlah hanya nama Tuhan yang semakin dipermuliakan. Seperti yang dikatakan Rasul Paulus:“ Hidup bagiku adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1:21).
Penulis: Rachel Stefanie
Bagi orang ya percaya , Tuhan pasti senantiasa menyertainya. Kasih Tuhan tidak pernah berhenti untuk anak-anakNya