[Malang, B’Inklusi] – Bily, demikian nama pemuda tujuh belas tahun itu. Tak jelas siapa orangtua kandungnya. Tak jelas pula asal usulnya. Orang-orang di panti memanggilnya Bily.
Menurut suster pengasuh panti, Bily dititipkan saat usianya belum genap 10 tahun oleh seorang pria yang menemukannya di jalanan. Sepuluh tahun itu usia perkiraan suster. Sebab saat datang Bily tak membawa identitas apapun, kecuali tubuhnya yang tak utuh. Manusia sepotong, terdengar miris. Namun itulah faktanya. Bily hidup tanpa lengan dan kaki.
Panti asuhan di kota Malang. Saat itu jarum jam menunjukan pukul lima sore. Saatnya anak-anak panti rehat, setelah mandi dan bersih-bersih. Bily tampak asik menggambar. Sebatang spidol ia capit di mulutnya. Seorang frater yang sedari tadi mengamati tingkahnya, mendekatinya. Ia adalah Frater Yulius. Ia sengaja menghabiskan masa liburannya di panti.
“Hai Bily, kamu lagi sibuk apa?” tanya Frater Yulius.
Bily menoleh sejenak ke arah frater, lalu memperlihatkan selembar kertas bergambar pemandangan alam.
“Wah gambarmu bagus sekali,” kata sang Frater.
Usai menggambar, Bily ‘meraih’ kertas yang tersisa di meja, lalu ia menulis sejumlah kalimat. Frater Yulius tak mau kalah, ia pun menarik kertas dan menuliskan sesuatu.
Sejurus kemudian, frater kembali memuji Bily, “Wah Bily, tulisanmu bagus sekali. Saya enggak bisa menulis sebagus itu.”
Spontan Bily berseloroh, mencandai frater, “Frater punya tangan lengkap tapi kok enggak digunakan dengan baik.”
Lain kisah, di pekarangan panti, Bily mengajak Frater Yulius bertanding mengambil sebatang kayu yang terhampar di tanah. “Ayo frater, kita berlomba siapa paling cepat mengambil kayu itu!”
Kayu itu terletak sekitar 20 meter dari hadapan mereka. Frater pun menyanggupi tantangan Bily. Ketika aba-aba berbunyi, secepat kilat Bily mengguling-gulingkan badannya meraih kayu tersebut menghalangi langkah sang Frater. Dan, dengan mulutnya ia berhasil mencomot kayu itu.
Dengan jumawa seolah ‘bertolak pinggang’ Bily kembali mencandai frater, ”Punya kaki utuh, kok enggak digunakan dengan baik.”

Pantang Bergantung
Kian hari, kian tahu Frater Yulius bagaimana Bily menjalani hidup dengan keterbatasan fisiknya. Dalam berbagai aktivitas, Bily pantang bergantung pada orang lain. Iya terlihat berupaya mandiri. Bahkan untuk urusan makan ia tak ingin disuapi. Meski tak memiliki lengan, dengan sisa onggokan di kedua pundaknya, ia menjepit sendok, merapatkannya, lalu meletakannnya di piring. Begitulah caranya menyantap makanan.
Interaksi antara Bily dan Frater Yulius berjalan akrab dan penuh canda tawa. Di antara canda Dan tawa itu tumbuhlah pertemanan yang menembus sekat-sekat rupa dan peran. Mereka tidak lagi memandang siapa utuh, siapa kurang. Hanya dua jiwa yang mengenal kesetaraan dalam diam.
Ternyata, ada kisah lain pula yang membuat hatinya makin tersentuh. Suatu sore di tepi hutan, tak jauh dari panti. Saat itu cuaca nan cerah membawa frater Yulius, Bily, temannya seorang tunanetra, dan pengguna kursi roda menyusuri area hutan yang tertata rapi.
Frater Yulius mendampingi mereka berjalan-jalan. Bily di depan menapaki areal hutan. Di belakangnya tampak pengguna kursi roda yang didorong oleh tunanetra, frater ikut mendorong kursi roda itu. Bagi anak-anak panti, hutan tersebut bukanlah kawasan yang asing. Sudah kerap mereka melepas kejenuhan di sana.
Di tengah perjalanan, pemandangan alam yang indah nan permanai membuat sang Frater terkesima. Alhasil, beberapa kali ia berhenti sejenak, mengambil kamera, mengabadikan bunga-bunga, pepohonan dan cantiknya alam dalam balutan foto.
Frater yang tertinggal di belakang, membuat orang-orang disabilitas itu pun memanggil-manggil namanya. “Frater di mana ya?” Bily berteriak, temannya yang tunanetra menyahut, ”Wah kasihan frater, bagaimana kalau frater tersesat!?”
Mendengar sayup-sayup suara mereka, Frater Yulius pun tertegun. Batinnya mengharu, “Saya kan normal, mengapa mereka mengkhawatirkan dan mengasihani saya?”
Terpatri di Sanubari
Waktu pun bergulir. Bilangan hari berganti bulan. Tahun demi tahun berlalu. Namun, kenangan akan Bily dan peristiwa di panti yang terjadi tiga puluh tahun silam itu tetap terpatri di sanubari Frater Yulius yang kini telah menjadi imam.
Bily yang akhirnya tak berumur panjang itu, yang wafat sebelum usianya menginjak 20 tahun itu, telah mengajarkan tentang nilai kehidupan. Bahwa rasa kemanusiaan dan keimanan seseorang tidak bisa diukur dari bentuk fisik Atau tampilan luarnya semata.
Bahwa nilai diri dan keberhargaan seseorang tidak bisa ditakar dari status sosial, pangkat, jabatan, atau kulit luarnya semata.
Bahwa manusia betapa kecil dan lemah ia sekalipun, dengan caraNya masih bisa digunakan Tuhan.
Manusia sepotong itu telah menginspirasi dirinya.
Penulis: Ignatius Herjanjam