Kartini dari Lorong-Lorong Iman: Tiga Perempuan Tunanetra Menembus Sekat Pelayanan

[Jakarta, B’Inklusi] – Hari Kartini bukan sekadar peringatan sejarah, tetapi momen refleksi tentang perjuangan perempuan untuk mendapat tempat yang setara di berbagai bidang kehidupan. Di tengah gema kesetaraan, tiga perempuan tunanetra, Caroline Anggiat, Gressia Carolina, dan Precilia Oktaviana menunjukkan bahwa panggilan hidup dan semangat Kartini bisa hidup di lorong-lorong pelayanan gereja dan ruang-ruang pendidikan teologi.

Ketiganya adalah lulusan sekolah tinggi teologi yang tidak hanya harus menghadapi tantangan akademik, tetapi juga stigma sosial terhadap disabilitas. Demikian   sekelumit kisah perjuangan dan harapan tiga orang perempuan tangguh ini dalam percakapan dengan BincangInklusi, Senin (21/4).

Perjuangan di Bangku Kuliah

Caroline Anggiat, lulusan STT Jakarta tahun 2020, membutuhkan waktu satu setengah tahun hanya untuk beradaptasi dengan lingkungan kampus yang belum inklusif. Awalnya, Anggia harus menghadapi ujian dan menyusun makalah yang hanya berbentuk tulisan, yang cukup sulit bagi seorang wanita tunanetra.

Namun, setelah adaptasi dan perjuangan selama satu setengah tahun, akhirnya ia berhasil menggunakan metode kombinasi antara tulisan dan suara, yang membuat proses kuliahnya menjadi lebih lancar. “Saya ingin orang tahu bahwa Tuhan selalu ada dan menolong. Kami yang disabilitas bukan beban, tapi bisa jadi berkat,” katanya penuh keyakinan.

Gressia Carolina, dari STT The Way Jakarta, menghadapi tantangan dalam mengakses bahan-bahan referensi yang belum ramah disabilitas. Namun, ia tidak menyerah.

Ia bahkan memperkenalkan dan mengajarkan penggunaan pembaca layar di ponsel kepada dosen seniornya, seorang ibu. Mereka bertemu di sebuah tempat, di mana Gressia dengan detail menunjukkan cara bernavigasi menggunakan fitur screen reader untuk membaca renungan dan Kitab Suci. Pengalaman itu membuka pemahaman baru bagi sang dosen tentang dunia literasi digital bagi tunanetra. Momen ini menjadi cermin sederhana dari pentingnya inklusi digital demi membangun masyarakat yang lebih ramah disabilitas.

Precilia Oktaviana, lulusan STT Scriptura Depok tahun 2021, harus membagi waktu antara kuliah dan pekerjaan. Ia kuliah pada sore hari, sementara pagi harinya ia bekerja.

Keterbatasan bahan referensi juga menjadi hambatan tersendiri baginya. Namun, ia tetap gigih menjalani proses pendidikan teologi.

Dari kiri ke kanan: Caroline Anggiat, Gressia Carolina, dan Precilia Oktaviana. (Foto: Dokumen Pribadi)

Motivasi Pelayanan

Motivasi mereka pun lahir dari pengalaman hidup yang dalam. Gressia, yang kini mengajar sekolah minggu bagi anak-anak non-disabilitas di gerejanya, berharap suatu hari bisa mengajar anak-anak disabilitas juga.

Ia merasa telah dipulihkan oleh Tuhan dari luka masa lalu dan ingin membagikan pengalamannya itu. “Karena saya ditolong, saya ingin menolong. Karena saya dipulihkan, saya ingin memulihkan,” ungkapnya.

Precilia pernah sakit berat pada 2005 dan setelah dipulihkan oleh Tuhan, ia merasa memiliki panggilan untuk membagikan hidupnya dalam pelayanan. “Tuhan memberi saya umur panjang, maka saya ingin mengembalikannya lewat pelayanan,” ujarnya.

Sementara itu, Anggia ingin menyuarakan bahwa orang dengan disabilitas bukan objek belas kasihan, melainkan subjek yang memiliki kapasitas dan talenta. “Kami tidak ingin hanya didudukkan. Kami ingin dilibatkan,” tegasnya. Ia menekankan pentingnya Gereja memberi ruang yang setara bagi semua, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas.

Membuka Paradigma Baru

Bagi Gressia, ketika seorang perempuan penyandang disabilitas menjadi pendeta, itu bukan sekadar pencapaian pribadi. Lebih dari itu, hal tersebut membuka perspektif baru di tengah masyarakat. “Ini membuktikan bahwa kami juga bisa. Disabilitas bukan penghalang untuk melayani. Ini tentang membuka paradigma baru bahwa perempuan tunanetra pun layak memimpin pelayanan,” terangnya.

Senada dengan itu, Precilia menegaskan pentingnya keterbukaan Gereja dalam memberi ruang bagi disabilitas. “Kalau memang punya panggilan dan kapasitas, kenapa tidak? Gereja harus membuka kesempatan, bukan membatasi,” pinttanya.

Gressia juga menanggapi stigma dari dosen yang pernah mempertanyakan imannya karena disabilitasnya. Ia menjawab dengan tegas, “Iman bukan soal sembuh atau tidak. Semua orang punya peran masing-masing. Disabilitas bukan tanda kurang iman.”

Gerak Pelayanan Kristus

Gressia menegaskan bahwa gerakan pelayanan Kristus sejatinya adalah gerakan untuk menjangkau mereka yang tersingkirkan. “Gerak pelayanan Kristus itu justru untuk orang-orang kecil, miskin, tersingkirkan, termasuk disabilitas,” katanya. Baginya, teologi disabilitas adalah perspektif yang penting untuk dikembangkan, agar Gereja sungguh menjadi rumah bagi semua.

Di tengah lorong-lorong pelayanan yang kerap sempit dan gelap, tiga Kartini tunanetra ini menyalakan lentera harapan. Mereka bukan hanya sedang menapaki panggilan iman, tetapi juga sedang memperjuangkan perubahan cara pandang.

Bahwa menjadi pendeta bukan milik laki-laki saja, dan bukan hanya untuk mereka yang “sempurna”. Ini adalah panggilan untuk semua yang mau melayani dengan sepenuh hati.

Penulis: Ignatius Herjanjam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *