Ketika Tongkat, Mata Hati, dan Suara Surga Mengajar Gereja Tentang Kesetaraan

[Tangerang, B’Inklusi] – Minggu (10/8), Gereja Santo Laurensius Alam Sutera merayakan pesta nama pelindungnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dan sangat berkesan pada perayaan tahun ini. Pastor Kepala, Romo Yohanes Hadi Suryono Pr, memutuskan untuk memberikan seluruh tugas liturgi utama kepada umat berkarunia khusus (UBK). Keputusan ini bukan hanya sebuah terobosan, tetapi juga menjadi pesan kuat,  Gereja adalah tubuh Kristus, dan setiap anggota, tanpa kecuali, punya tempat dan peran.

Yang melayani di altar hari itu adalah tiga pribadi istimewa. Rafael Kusnen Chandra, seorang tunadaksa yang menggunakan dua tongkat, menjadi lektor pertama. Ernawati, seorang tunanetra, memimpin mazmur dengan suaranya yang merdu. Dan Samuel, remaja autis berusia 14 tahun, bertugas sebagai lektor kedua.

Tampak penuh semangat. Samuel — ABK dari Paroki Santo Laurensius Alam Sutera — menjalani peran sebagai lektor di gereja

Keterbatasan Bukan Penghalang

Bagi Kusnen, keputusan menerima tugas ini awalnya diliputi rasa ragu. Tantangan utamanya adalah bagaimana ia dapat naik ke ambo dengan kondisi menggunakan dua tongkat. Namun, dukungan sang istri yang mendampingi naik dan turun ambo membuat segalanya berjalan lancar. Ia membacakan Sabda Tuhan dengan penuh wibawa, membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk memuliakan Allah.

Samuel, yang sejak awal sudah antusias melaksanakan tugas perdananya sebagai lektor, sempat membuat sang ibu khawatir karena saat itu ia sedang kurang sehat. Namun, ia mampu menyelesaikan tugasnya dengan sempurna, bahkan mematuhi arahan pendampingnya untuk menghitung dalam hati, “Satu…, dua,” sebelum mengucapkan, “Demikianlah Sabda Tuhan.”

Selesai bertugas, ia dengan polos berkata kepada Stefanus Wiria, ketua Dei Gratia (komunitas UBK & ABK Santo Laurensius) yang mendampingi Samuel saat bertugas, di mana hal tersebut kemudian dituturkan kembali kepada BincangInklusi, “Aku mau jadi lektor lagi! Aku suka jadi lektor!” Saat Wiria menawarkan opsi menjadi putra altar, Samuel menjawab tegas, “Tidak, aku mau jadi lektor!” Sebuah pernyataan yang penuh tekad dan kebanggaan.

Ernawati, yang sudah beberapa kali memimpin mazmur, kembali menunjukkan kelasnya. Suaranya yang jernih dan penuh penghayatan menggetarkan hati umat yang hadir. Ia menjadi contoh bahwa talenta rohani tidak diukur dari kesempurnaan fisik, tetapi dari hati yang mau memberi diri.

Kisah hari itu menjadi cerminan nyata dari 1 Korintus 1:27-29: “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat…” Dalam kacamata manusia, mereka mungkin dianggap terbatas. Namun, di mata Allah, mereka adalah alat kemuliaan-Nya.

Gereja Santo Laurensius membuktikan bahwa keterlibatan UBK bukanlah sekadar gestur belas kasihan, melainkan panggilan sejati untuk mengakui bahwa mereka adalah bagian integral dari tubuh Kristus. Melalui mereka, Tuhan menunjukkan wajah-Nya yang penuh kasih, lembut, dan indah.

Moto Santo Laurensius, “Divitiae Ecclesiae sunt Pauperes” – Orang lemah adalah harta Gereja – menemukan makna konkretnya hari itu. Bukan hanya harta yang disimpan, tetapi harta yang dihidupkan di altar Tuhan.

Perayaan 10 Agustus itu mungkin telah berlalu, namun gaungnya akan terus mengingatkan,  di dalam Gereja, tidak ada yang “terlalu kecil” untuk Allah. Setiap tongkat, setiap mata hati, dan setiap suara – bahkan yang dunia anggap lemah – adalah bagian dari simfoni agung kasih Tuhan.

Penulis: Rachel Stefanie

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *