[Bogor, B’Inklusi] – Pada tahun 2004, seorang bayi mungil diantar ibu kandungnya sendiri ke sebuah panti asuhan. Dengan jujur ibu itu mengatakan, “Saya sudah berusaha untuk menggugurkan kandungan saya, tapi bayi ini lahir juga. Saya tidak mau memeliharanya dan saya serahkan pada ibu.”
Demikian Maria Rosa, Pimpinan Panti Asuhan Yayasan Awam Bina Amal Sejati (ABAS) di kawasan Tonjong Parung, Bogor, Jawa Barat menceritakan seorang bocah yang saat itu belum genap berusia dua tahun. Daniel namanya. Ia sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
Di pantinya, Maria Rosa mengasuh puluhan anak, sejak masih bayi hingga dewasa—bahkan ada yang sudah menikah. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang lahir dari ibu tanpa suami atau yang identitas ayahnya tidak diketahui.
Menurut cerita majikan ibu kandung Daniel, selama sembilan hari sang ibu tidak mau menyusui bayinya. Rosa sempat ragu menerima bayi itu karena kondisinya cukup berat. Daniel menderita meningocele—pembentukan sinus yang tidak sempurna menyebabkan kebocoran, sehingga cairan otaknya mengalir membentuk benjolan di antara mata kiri dan hidungnya. Telunjuk kanannya pun hanya setengah. Ketidaksempurnaan fisiknya jelas menunjukkan bahwa ia adalah anak yang gagal diaborsi.
Namun ketika Rosa menerima bayi itu dalam pelukannya, Daniel membuka matanya seakan memaksa untuk diterima. Rosa percaya bahwa suara hati lebih menentukan daripada pikiran. Maka ia beri nama bayi itu Daniel, dengan harapan kelak ia tumbuh menjadi pribadi sekuat Nabi Daniel.
Setelah menjalani berbagai pemeriksaan, Daniel menjalani operasi pertama pada 23 November 2004, saat usianya belum genap dua bulan. Awal Desember, ia kembali ke panti dalam keadaan sehat. Keberhasilan operasi ini menjadi kado Natal paling indah bagi Panti ABAS. Ia masih harus menjalani dua operasi lagi pada April dan awal Mei 2005, tapi sejak itu, Rosa tak perlu lagi mengeluarkan biaya besar untuk operasinya. Dana yang ada bisa dialihkan untuk anak-anak lain.

Daniel Hidup, Flora Meninggal
Seperti Daniel, Flora juga anak yang berbeda. Keduanya adalah anak-anak gagal pengguguran yang sejak lahir sudah berjuang untuk hidup, berharap dicintai dan ingin mencintai. Bukan kebetulan kalau mereka diserahkan ke panti yang sama dalam usia beberapa hari. Dengan cara sederhana, mereka menjadi saksi bahwa setiap manusia—sekecil dan setakberdaya apa pun—adalah ciptaan Tuhan yang memiliki hak untuk hidup.
Flora lahir pada 12 September 2002, dari ibu yang mengalami keterbelakangan mental dan ayah yang tidak jelas. Selama mengandung, ibunya mengonsumsi berbagai obat yang membahayakan janin. Neneknya baru sadar akan kehamilan anaknya saat usia kandungan sudah besar. Karena alasan ekonomi dan kondisi mental sang ibu, mereka menyerahkan bayi itu kepada Maria Rosa.
Rosa memberinya nama Flora, berharap ia tumbuh menjadi bunga indah di antara anak-anak lain di panti. Karena kondisi jantungnya yang lemah, Flora menjadi pusat perhatian. Pada usia enam bulan, ia menjalani operasi jantung pertama di Jakarta berkat dukungan banyak orang. Rosa menyimpan semua surat dan email dari para donatur, dengan harapan kelak bisa menunjukkannya kepada Flora agar ia tahu bahwa dirinya dicintai.
Setelah operasi pertama, Flora tumbuh sehat dan ceria. Rosa menempatkan tempat tidur Flora di kamarnya sendiri agar ia lebih terlindungi. Meski diistimewakan, Flora tetap ramah, murah senyum, dan penurut. Ia cepat belajar berbicara dan berhitung. Semua itu membuat Rosa sejenak lupa bahwa penyakit jantung Flora masih mengancam nyawanya.
“Saat ini Flora adalah kuntum bunga terindah di panti ini yang dipilih Tuhan untuk dipetik bagi-Nya,” ujar Uskup Bogor saat itu, Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM, pada misa requiem 7 Januari 2004. Flora tampak tenang seperti sedang tidur ketika disemayamkan di Kapel Panti ABAS. Ia meninggal sehari setelah menjalani operasi jantung kedua di rumah sakit Kelapa Gading, Jakarta.
Kepergiannya menyisakan duka mendalam bagi Rosa dan seluruh pengurus yayasan yang telah mencintainya. Namun kehidupan Flora yang singkat menjadi berkat.
Pada 12 September 2004, saat seharusnya ulang tahunnya yang kedua, berdirilah Paguyuban Flora—organisasi untuk membantu anak-anak dari keluarga tidak mampu yang membutuhkan bantuan kesehatan. Paguyuban ini bukan bagian resmi dari Yayasan ABAS, tapi jelas tak akan lahir tanpa kehadiran Flora. Dana awalnya adalah sisa biaya operasi dan pengobatan Flora. Setelah Flora wafat, dana itu dialihkan untuk membiayai operasi Daniel.
Daniel dan Flora adalah dua dari sekian banyak anak yang menerima kasih bukan dari orangtua kandung, tapi dari begitu banyak orang yang tersentuh oleh kisah mereka. Dunia ini masih menyimpan banyak anak yang ditolak kehadirannya. Daniel dan Flora hanyalah dua di antara mereka—anak-anak yang tidak mengerti mengapa mereka ditolak, bahkan oleh orangtuanya sendiri.
Penulis: Ignatius Herjanjam