DCC Gelar Webinar Pentingnya Deteksi Dini Glaukoma

[Jakarta, B’Inklusi] – Disability Care Center (DCC) kembali menggelar webinar ke-15 pada Sabtu, 11 Oktober, dengan tema “Memahami dan Hidup Bersama Glaukoma.” Acara ini berlangsung secara daring melalui Google Meet dan menghadirkan dr. Angela Shinta Dewi Amita, Sp.M, dokter spesialis mata sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta, sebagai narasumber utama.

Dalam pemaparannya, dr. Shinta menjelaskan bahwa glaukoma merupakan kerusakan saraf mata permanen yang tidak dapat disembuhkan, biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan bola mata akibat sumbatan aliran cairan. Ia menambahkan bahwa terdapat dua jenis utama glaukoma, yaitu glaukoma sudut terbuka dan sudut tertutup. Glaukoma sudut terbuka berkembang perlahan dan tanpa gejala nyeri, sedangkan sudut tertutup dapat muncul tiba-tiba, disertai nyeri hebat pada mata, sakit kepala, mual, muntah, dan gangguan penglihatan mendadak.

Webinar DCC, bersama dr. Angela Shinta, membahas pentingnya deteksi dini glaukoma dan dukungan bagi penyandang disabilitas netra.

Pemeriksaan Mata Rutin


Karena sebagian besar kasus tidak menimbulkan rasa sakit, banyak orang baru menyadari saat penglihatan sudah rusak,” ujarnya. Dokter yang telah lebih dari satu dekade melayani masyarakat di daerah terpencil Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menegaskan pentingnya pemeriksaan mata rutin serta kewaspadaan terhadap riwayat keluarga penderita glaukoma.

Dalam sesi ini, tim mahasiswa dari Unika Atma Jaya juga turut menyampaikan materi, membantu peserta memahami pentingnya deteksi dini dan langkah-langkah pencegahan kebutaan akibat glaukoma. Menurut dr. Shinta, keterlambatan diagnosis menjadi penyebab utama kebutaan permanen karena kerusakan penglihatan biasanya dimulai dari pinggir dan perlahan merambat ke tengah. Karena itu, pemeriksaan rutin sejak usia muda menjadi langkah sederhana namun sangat penting untuk menjaga kesehatan penglihatan.
Selain aspek medis, dr. Shinta juga menyoroti dampak emosional yang dialami penderita glaukoma, seperti rasa sedih, takut, dan kehilangan arah. Ia menekankan pentingnya dukungan keluarga, lingkungan yang inklusif, serta pemanfaatan teknologi seperti aplikasi Be My Eyes untuk membantu adaptasi kehidupan sehari-hari. Namun ia juga menyoroti kendala yang dihadapi tunanetra di Indonesia, seperti keterbatasan jaringan internet dan tingginya biaya kuota.
“Semoga pemerintah dapat memberikan solusi, misalnya menyediakan Wi-Fi gratis di area khusus bagi sahabat disabilitas agar bisa mengakses jaringan,” harapnya.

“Meskipun penglihatan terbatas, semangat dan harapan harus tetap terbuka lebar,” tutupnya penuh inspirasi.

Penulis: Rachel Stefanie

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *