Apakah melakukan pelayanan dalam kondisi nyaman adalah hal yang biasa dan lumrah dicari orang? Ya, banyak orang bersedia melayani selama suasana mendukung, tidak ada tekanan, dan segalanya terkendali.
Namun bagaimana ketika pelayanan harus dilakukan dalam situasi tidak ideal — penuh risiko, tidak nyaman, bahkan membahayakan? Apakah seseorang masih bisa tetap setia dan eksis dalam pelayanannya?
Hari ini, Gereja Katolik diajak meneladani semangat inklusi Santo Ignatius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus (Jesuit), yang diperingati setiap 31 Juli. Ignatius mewariskan semangat pelayanan yang tidak dibatasi kenyamanan pribadi. Salah satu teladan nyata dari semangat itu adalah keberanian para Jesuit yang turun langsung melayani di rumah sakit dan tempat-tempat darurat saat terjadi wabah atau konflik.
Mereka hadir bukan di ruang nyaman, tapi di tengah penderitaan dan ancaman nyawa. Mereka merawat yang sakit, miskin, dan terlantar tanpa membedakan status sosial, tanpa pamrih. Ini adalah bentuk pelayanan yang lahir dari iman yang mendalam, di mana kasih diwujudkan dalam tindakan nyata yang menembus batas rasa aman dan nyaman. Dalam kata-katanya, Ignatius menegaskan, “Pelayanan sejati muncul dari hati yang setia, bukan dari rasa nyaman semata.”

Teladan kesetiaan dalam pelayanan, bahkan di tengah ketidaknyamanan. (Sumber gambar: Wikimedia Commons/Public Domain)
Melampaui Zona Nyaman
Dalam konteks modern, semangat Ignatius mengajak kita untuk melihat inklusi bukan hanya sebagai kebaikan sosial, tetapi sebagai panggilan rohani.
Pelayanan kepada komunitas disabilitas, misalnya, bukan sekadar membangun akses fisik yang ramah, melainkan juga keberanian menghadapi dinamika yang rumit: stigma masyarakat, keterbatasan komunikasi, kesabaran menghadapi proses yang panjang, dan kadang tanpa penghargaan langsung. Namun, justru dalam ketidaknyamanan itulah benih pelayanan sejati tumbuh — dan iman kita diperdalam. Seperti kata Ignatius, “Tuhan tidak meminta kesempurnaan, tapi usaha dan kesetiaan dalam pelayanan.”
Contoh lain yang sangat nyata adalah keluarga yang setiap hari merawat anggota dengan kebutuhan khusus. Mereka mungkin tidak tampil di mimbar atau podium, namun pengorbanan dan kesetiaan mereka adalah pelayanan yang mendalam.
Kelelahan, tekanan batin, bahkan pengasingan sosial kadang mereka alami. Tapi mereka tetap hadir, setia, dan mencintai. Di sanalah wajah Kristus tampak — dalam kasih yang setia tanpa syarat.
Semangat Ignatius adalah ajakan untuk tidak hanya hadir dalam kondisi ideal, tetapi untuk terus setia dalam situasi sulit. Ketika kita melayani bukan karena nyaman, tetapi karena cinta, saat itulah pelayanan menjadi bentuk doa yang hidup.
Tuhan hadir di tengah ketidakpastian, menemani kita yang mau terus melangkah meski tak selalu mudah. Inilah inklusi yang sejati: bukan sekadar membuka ruang, tapi berani hadir sepenuhnya di tengah luka dunia. Atau seperti nasihat Ignatius, “Carilah Allah dalam segala hal, terutama dalam pelayanan kepada sesama.”
Penulis: Ignatius Herjanjam